Kamis, 29 Maret 2012

TULISAN 19 - PERJUANGAN MELAWAN “LUPA” TRAGEDI 27 JULI

TULISAN 19 - PERJUANGAN MELAWAN “LUPA” TRAGEDI 27 JULI

Para petinggi PDI Perjuangan mungkin kini telah melupakannya. Pun pemerintah tak lagi berhasrat mengungkapnya. Namun bagi orang-orang yang dini hari itu berjaga di Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia, pasti tak akan bisa menghapus kenangan kelam itu dari benak mereka. Pagi itu, 27 Juli 1996, Jakarta belum sepenuhnya bangkit dari tidur, namun kegaduhan telah telah terjadi di Jalan Diponegoro, tempat partai banteng itu berkantor.

Mungkin 300, mungkin pula 400 orang yang semalaman berjaga di kantor itu bertahan dengan gigih menghadapi penyerbu yang entah datang dari mana. Seperti halnya orang-orang yang berjaga di Diponegoro, para penyerbu itu juga beratribut PDI. Para penyerang itu memang mengaku sebagai orang-orang Suryadi — lawan Megawati di internal PDI. Namun dari kemampuan berkelahi mereka yang nampak terlatih, dengan mudah bisa diterka dari mana sesungguhnya mereka berasal.

Hari itu dengan cepat kemarahan menyebar ke segala arah. Api menghanguskan begitu banyak kendaraan dan gedung. Kelak Komnas HAM mencatat lima orang pendukung Megawati tewas, 149 orang terluka dan 136 lainnya ditahan. Namun para saksi berkeyakinan, yang mati mencapai puluhan orang, 300 lainnya luka parah. Seseorang yang diperbolehkan aparat menengok ke dalam kantor PDI mengatakan, ia hanya melihat ceceran darah dan sehelai jaket berlumur darah. “Hari ini kita menjadi saksi sejarah, kawan-kawan kita mati mempertahankan gedung ini,” kalimat sedih itu diucapkan dengan gagah oleh seorang anak muda yang berbandana merah putih di kepalanya.

Tapi benarkah hanya seonggok gedung yang mereka pertahankan? Dan juga benarkah ‘hanya’ Megawati dan PDI yang mereka bela? Jika kita berdiri di sana saat itu kita bisa menemukan jawabnya; tak hanya itu! Gedung Jalan Diponegoro 58, tempat berhari-hari para disiden Orde Baru bermimbar bebas, sesungguhnya hanyalah simbol dari kemerdekaan yang telah menahun diberangus. Sementara Megawati ditempatkan sebagai titik simpul (interest confluence) dari beragam pihak yang menentang watak adigung pemerintahan Soeharto

Persengketaan internal PDI yang merupakan akibat intervensi pemerintah menjadi ’ruang bersama’ bagi banyak kekuatan kritis untuk melawan otoritarianisme Orde Baru. Kita tahu, mereka yang berkumpul di Jalan Diponegoro dan juga yang menggemakan protes di daerah-daerah tak hanya para partisan PDI, namun juga para aktivis mahasiswa, pegiat ormas dan LSM. ”Penggusuran Megawati sama halnya dengan pembunuhan demokrasi. Tanpa demokrasi, selamanya rakyat akan menjadi budak kekuasaan,” begitulah sebuah media interaktif mencatat orasi seorang demonstran di depan Megaria. Demokrasi, itulah sebagian alasan kenapa orang-orang itu melawan represi fisik yang tak tertandingi oleh kekuatan raga mereka.

Lima belas tahun berlalu, kita tak tahu, bagaimana makna persitiwa bagi para petinggi PDI Perjuangan, metamorfosis PDI yang bangkit dari puing-puing 27 Juli. Mungkin bagi mereka, peristiwa itu hanya menghasilkan seremonial berupa hening cipta., tanpa terbersit niatan untuk mengungkapnya sebagai pelajaran berpolitik yang manifes. Dalam peringatan yang dilakukan 2008, tiga tahun lalu, Ribka Ciptaning mengeluhkan sikap para petinggi partainya yang abai terhadap tragedi tersebut. ”Saya kecewa mereka melupakan peristiwa ini. Padahal tragedi inilah yang membesarkan Mega dan partainya,” begitulah Ribka mengeluh.

Kini tak terlihat lagi jejak penuntasan hukum untuk menguak tragedi ini, bahkan saat Megawati masih berada di atas kursi presiden. Para elit militer yang bertanggungjawab atas aksi kekejian tersebut kini masih leluasa dan terus meretas jalan kembali ke altar kekuasaan. Barangkali, atas nama stabilitas politik, mereka telah bersepakat untuk akur kembali dan menempatkan sejarah buram itu menjadi bagian dari masa lalu. Dan peran rakyat hanyalah sebagai krocombelo yang di-casting sebagai korban.

Hanya saja kita pernah mendengar dari cendekiawan Ceko, Milan Kundera, perjuangan melawan kekuasaan (yang dzalim) adalah perjuangan melawan lupa. Dan mereka yang mengabaikan masa lalu, tulis filsuf George Santayana, akan dikutuk mengulanginya. Dengan demikian mewujudkan harapan yang baik, harus dimulai dengan menciptakan preseden pada masa sebelumnya. Yakni preseden bahwa seperti apapun kejahatan, kapanpun terjadi dan siapapun pelakunya harus tetap ditimbang oleh tangan hukum. Dengan begitu, kejahatan itu tak terulang lagi di masa mendatang.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar